Rouftracal Dot Blogs Post

Kamis, 21 Mei 2009

Novel Populer Vs Novel Serius

Cerita dalam Novel sangatlah berpengaruh pada kehidupan dan pola pikir si pembaca, hal ini disebabkan karena kekuatan yang digunakan oleh si pengarang kekuatan seting serta penokohan. Novel-novel tersebut sangatlah beragam, namun demikian Novel secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu Novel Populer dan Novel Serius.

Ciri umum yang paling mudah kita tangkap dalam novel populer adalah bentuk covernya yang sering menonjolkan warna cerah, ilustrasi agak ramai, gambar wanita de-ngan tetesan air mata atau gambar pemuda yang sedang memeluk kekasihnya. Indikator luar ini tentu saja belum dapat sepenuhnya untuk menentukan sebuah novel populer atau tidak. Oleh karena itu, perlu kita mencermati pula indikator dalamnya yang menyangkut unsur-unsur intrinsik novel yang bersangkutan. Mari kita periksa!
Dari segi penokohan, novel populer umumnya menampilkan tokoh-tokoh yang tidak jelas identitas tradisi-kulturalnya. Hal tersebut dapat dilihat dari nama tokohnya, seperti Fredy, Sisca, Frans, Boy, Vera, Tommy atau Yance. Mengingat nama-nama itu ti-dak berakar pada kultur daerah, maka identitas sebagian besar tokohnya ditandai dengan latar perkotaan. Adapun tema-tema yang diangkat umumnya menyangkut percintaan para remaja yang masih bersekolah atau mahasiswa. Jika tokoh-tokohnya seperti itu, maka konflik yang muncul di antara tokoh itu berkisar pada status sosial orang tua masing-masing, perebutan pacar, atau persoalan-persoalan remeh-temeh di sekitar usia pubertas.

Dari segi latar tempat dan latar peristiwa, novel populer cenderung menampilkan latar kontemporer dengan berbagai peristiwa yang aktual. Karena mengejar aktualitas dan kontemporer itu, maka latar dalam novel-novel populer akan terus berubah sesuai dengan zamannya. Cintaku di Kampus Biru (dunia kampus), Ali Topan Anak Jalanan (dunia SMA) atau Lupus (dunia SMP/SMA), merupakan contoh latar novel populer yang berubah sesuai dengan kondisi dan suasana zamannya. Sebelum itu, novel-novel tahun 1970-an karya Motinggo Busye, Ali Shahab, Abdullah Harahap, menampilkan latar kehi-dupan rumah tangga yang berantakan.

Ciri lain yang cukup menonjol dalam sastra populer adalah tampilnya tokoh-to-koh yang stereotipe. Tokoh ibu tiri, misalnya, akan tampil dengan sifat-sifatnya yang pilih kasih, kejam, judes, munafik, dan sifat buruk lainnya. Tokoh anak-anak remaja, tampil dengan hura-huranya, pesta, rebutan pacar, darmawisata, dan kebiasaan-kebiasaan para remaja, termasuk mungkin juga dengan tawurannya. Dalam kenyataannya, tidak semua ibu tiri berperilaku buruk yang seperti itu. Demikian juga, tidak semua remaja mempu-nyai kebiasaan demikian. Akibatnya, tidak ada kemungkinan lain bagi pembaca untuk memperoleh gambaran yang khas, unik, dan berbeda dengan kelaziman umum.

Tipe tokoh yang stereotipe itu akan dihadapkan dengan problem yang sederhana, tanpa pendalaman. Tujuannya memang agar pembaca tidak perlu berkerut dahi, berpikir kritis, karena ia lebih menekankan pada unsur hiburannya. Bahkan, tidak jarang novel po-puler menyajikan mimpi-mimpi indah dan semu yang menggoda perasaan pembaca.

Dalam hal itu, perasaan pembaca sengaja dimanfaatkan dan dieksploitasi, agar pembaca seolah-olah menjadi bagian dari tokoh-tokoh yang digambarkannya. Itulah sebabnya, pemihakan pengarang kepada tokoh-tokoh yang digambarkannya, sering kali begitu jelas. Pembaca tidak diberi peluang untuk memperoleh penafsiran lain, karena memang tidak ada kemungkinan munculnya ambiguitas atau tafsir ganda. Makna dan amanat yang ditampilkannya bersifat tunggal. Itulah amanat yang banyak terdapat dalam novel populer. Dengan begitu, akhir cerita tidaklah terlalu sulit untuk ditebak, karena memang sengaja dibuat demikian.

Mengingat sastra populer lebih mementingkan kesenangan, kesederhanaan, pe-nyelesaian persoalan yang gampang dan selalu tuntas, dan tidak merangsang pembacanya untuk berpikir, maka dikatakan pula bahwa sastra populer sebagai bacaan untuk mereka yang tidak memiliki pengetahuan; bacaan untuk pembantu rumah tangga, anak-anak atau remaja, dan bukan untuk kaum terpelajar.
***

Apa yang menjadi ciri-ciri novel populer, justru bertentangan dengan ciri-ciri novel serius. Dalam novel serius, pembaca dirangsang untuk berpikir, diperdayai dengan menyelimuti amanat dan pesan pengarangnya. Karena tersembunyinya pesan itu, terbuka peluang bagi pembaca untuk memberi penafsiran yang bermacam-macam. Tema cerita yang rumit, tokoh-tokoh yang mengalami konflik batin dan perubahan sikap. serta latar cerita yang turut mendukung problem yang dihadapi tokoh-tokohnya, justru memberikan banyak hal kepada pembaca. Mungkin pembaca mendapatkan informasi kesejarahan, pe-ngetahuan, pendalaman, dan makna kehidupan manusia.

Secara ringkas, novel serius umumnya menampilkan tema yang kompleks. Meski-pun tak bertema besar atau universal, persoalannya disajikan secara rumit, sehingga me-merlukan penyelesaian yang juga rumit, tidak gampangan, atau mungkin juga tidak ada penyelesaian (open ending). Selain itu, hubungan antar-unsur, seperti tema, latar, tokoh, dan alur, memperlihatkan kepaduannya (koherensi). Dengan demikian, setiap unsurnya hadir secara fungsional; saling mendukung. Dalam novel serius, pengarang cenderung memanfaatkan kebebasan berkreasi (licentia poetica). Dengan kebebasan itu, pengarang akan selalu berusaha menampilkan hal yang baru dengan tetap menjaga orisinalitasnya.

Dalam studi kebudayaan (cultural study), novel serius termasuk ke dalam katego-ri produk kebudayaan tinggi atau elite (high culture), sedangkan novel populer termasuk ke dalam produk kebudayaan massa atau populer (mass culture/popular culture). Kebu-dayaan tinggi atau elite dihasilkan dan diminati hanya oleh kalangan yang sangat terbatas. Pemahaman terhadap produk kebudayaan elite menuntut khalayak yang terlatih, berwa-wasan, dan mempunyai tingkat apresiasi yang tinggi. Mengingat tuntutannya yang demi-kian, maka novel serius dianggap hanya dapat dinikmati oleh kalangan terpelajar.
***

Adanya ciri-ciri yang membedakan novel serius dengan novel populer, tidak ber-arti kita harus mempertentangkan keberadaan kedua jenis novel itu. Tidak perlu pula kita memusuhi keberadaan novel populer, karena novel populer dan novel serius, masing-ma-sing berada dalam kedudukan dan tempatnya sendiri. Yang penting bagi kita adalah pe-mahaman mengenai tempat dan kedudukan masing-masingnya. Dengan pemahaman ini, persoalannya tinggal terserah kepada khalayak pembaca; membaca novel populer akan memperoleh hiburan semata-mata, dan mungkin juga hiburan dengan selera rendah jika novel populer itu tidak baik; dan membaca novel serius, tidak hanya akan memperoleh kenikmatan estetik, tetapi juga pencerahan pikiran dan rasa kemanusiaan.

Dalam konteks apresiasi sastra, tentu saja seyogianya kita memilih novel serius, karena di dalamnya sangat mungkin kita akan memperoleh banyak hal; sangat mungkin pula terjadi beraneka ragam penafsiran. Dengan demikian, terbuka peluang untuk berbe-da pendapat, berargumen, dan menemukan alasan-alasan yang logis. Meskipun demikian, jika kita hendak menggunakan novel populer, maka sepatutnya karya itu termasuk novel populer yang baik. Pemanfaatannya sebaiknya bukan untuk apresiasi, melainkan untuk meningkatkan minat membaca atau sekadar memperoleh hiburan semata-mata.