Rouftracal Dot Blogs Post

Kamis, 30 April 2009

Seruling Bambu

Nyanyian yang aku rindukan itu kian hari kian terdengar samar. Dari kejauhan hanyalah bekas-bekas letupan yang tek jelas lagi bunyinya, suara ataukah hanya isakan tangis binatang malam. Pelangi tak lagi terlihat, hujanpun kian meredup dan anginpun tak lagi berhembus. Aku benar-benar sendiri, sendiri dalam penantian kasih yang hanyalah bayangan semu dan fatamorgana.

Teringat olehku dulu, masa kecilku dulu, teringat pada teman sebaya dan permainan jenaka. Alangkah indahnya waktu kecil, dimana belum mengenal cinta, cinta remaja, cinta yang menggembara mencari sandaran untuk memenuhi asmara. Dulu, yang ku kenal hanyalah cinta orang tua bersama nyanyian seruling merdu mengantarkanku dewasa. Nyanyian itu telah menghilang, dan tidak akan lagi terdengar nyanyian itu karena seruling itu kini telah beralih pada pujaan.

Puja, kini kaulah sebagai seruling itu, sebagai pengganti seruling bambu yang berbunyi indah diwaktu dulu, yang hanya dengan tiupan kecil mengobati ku rindu. Itulah yang ingin aku dengarkan sewaktu dulu, yang pernah aku dengarkan. Hiasan pagi, ninaan malam dan goresan pagi.

Akhirnya isakan itupun membangunkanku, isakan ku sendiri yang membuatku terjaga dari kerinduan dengungan indah dalam buaian. Selamat datang wahai diriku. Selamat datang di penghujung penantian. Hanyalah kata yang tiada akhir, yang tiada kan dapat menghadang. Selamat datang... wahai diriku.