Rouftracal Dot Blogs Post

Sabtu, 23 Mei 2009

Ngapurancang




“Ssttt.....!!!”

Rifai' langsung duduk diantara santri lainnya. Tapi ada yang beda hari ini, biasanya hening dulu, baru ramai. Tapi sekarang... model seperti itu telah berubah. Artinya sekarang ramai dulu, baru kemudian hening. Suasana ini berbeda sekali dengan beberapa hari yang lalu. Rasa khusu' dan hikmat sangat terasa. Seolah-olah semuanya tersihir, terhipnotis oleh kata-kata sosok panutan kharismatik.

Untaian demi untaian, rangkaian demi rangkaian, kata-kata dalam itu membuat yang hadir terasa masuk ke dunia bawah sadar. Sekarang bukan di depan Dedi Corbuzier atau Romy Rafael. Atau terkagum dengan kekuatan Mr Limbad. Bukan, tapi sekarang dihadapan agung Romo.

“Salat berjamaah adalah sebagai tathbiqul ilmi, khususnya bagi santri di pesantren”. Pesan itu yang palin sering didengar oleh para santi, mengenai jama'ah. Entah berapa ribu kali lagi kalimat itu akan diperdengarkan, sebagai kalimat pusaka sang Kiyai.

“Jama'ah”, ya, Jama'ah. Maskipun tidak sedikit dari para santrinya yang tidak mengikuti jama'ah dalam sholatnya. Jangankan berjama'ah, sholatpun kadan sama sekali jarang “Subhana Allah” dapat dibayangkan, seandainya saja yang santri saja sudah berani meninggalkan sholat, apalagi yang tidak pernah sama sekali mengenyam pendidikan agama.

Rifa'i tertegun mendengar perkataaan itu, hatinya sekarang bergetar, bulu kuduknya berdiri, serasa ada tering-taring ganas srigala lapar mengoyak jantungnya tau kuku tajam yang mencakar ulu hatinya. Air matanya menetes lamban, duduk bersila tenang berhitmat dalam naungan suci.

“Seseorang dikatakan berilmu agama tinggi jika ia melaksanakan syariat agama dengan benar, lebih-lebih salat berjamaah” kata-katanya kembali menembus dada Rifa'i, santi yang telah lama di Pesantren, tapi dirinya serasa jauh dari hidayah.

“Sehingga pondok pesantren seakan bercahaya dan terlihat nur dan barakahnya adalah pesantren yang para santrinya istiqamah salat berjamaah, walaupun bangunannya berupa goprak atau gedhek” sang Kiyai berhenti sejenak, lalu melanjutkannya “Dan sebaliknya, walaupun pesantren yang bergedung tingkat tujuh, akan tetapi para santrinya tidak kulino atau bahkan sembrono dalam salat berjamaah, seakan suram dari cahaya ilahiyyah”.

Tidak ada yang berbicara diantara sekian banyak santri, suasana hikmat semakin terasa. Hentakan Kiyai seakan menghujam dan menembus dada para santri, menghantarkan hidayah Illahiyah.

Siang itu diluar Musholla sangat menyengat, maklum musim penghujan telah lama beranjak dan bergati dengan musim kemarau yang panas. Bahkan diluar sana Kebakaran telah merajalela, mulai dari pemukiman sampai perhutanan tak luput dari incaran luapan api kekeringan. Tidak hanya diluar jawa, di Jawa sendiripun telah beberapa kali terjadi bencana serupa, kebakaran akibat kekeringan yang telah melanda.

“Oleh karena itu, ketika mushalla di pesantren ini belum selesai dalam pembangunan” Kiyai berhenti, seraya melihat pembangunan Musholla yang dalam masa pembangunan.

“sehingga santri-santri tidak bisa serempak berjamaah, maka saya minta untuk tidak meninggalkan salat berjamaah, walaupun itu dilaksanakan secara bergelombang, menyesuaikan tempat dan kegiatan santri yang berbeda-beda waktunya”.

Kembali dada Rifa'i terguncang. Dalam lamunnya dia membayangkan, seandainya dia adalah santri yang kaya raya, sudah tidak lagi dicekik kebutuhan, maka dia akan menanggung semua biaya pembangunan dan menyelesaikannnya dengan cepat tanpa tersendat. Angan itu hanya tinggal angan, untuk sekarang saja tunggakan spp masih tiga bulan yang belum terbayar, walaupun hanya seharga sekarung beras.

Harus melunasinya dari mana... Bapaknya hanya seorang tukang becak, yang setiap harinya sudah cukup lumayan kalau bisa dibuat makan. Ibunya hanya pedagang asongan, yang sesekali harus berhadapan dengan salpol pp, belum lagi adik-adiknya yang saben hari harus ada jatah uang jajannya, ya tidak banyak sih, cuma cukup buat beli es waktu sekolah.

Keadaan memang susah, dan tidak ada sebenarnya yang mau hidup dalam kesusahan. Maka dari itu, mengapa Rifa'i diantarkan ke Pondok dan dititipkan kepada Kiyai, hanya satu harapnya, semoga kehidupan esok lebih baik, dapat melihat anak tidak seperi orang tuanya. Seandainya nasip itu tidak jauh beda dari orang tuanya paling tidak bisa menjadi juragannya. Maskipun Ibunya jadi pedagang asongan, dia bisa jadi kelahiran dari tukang becak, setidaknya Rifa'i nanti.

“Hal ini sebagaimana yang didawuhkan mbah romo kyai Abdul Hadi Zahid ketika saya sowan pertama kali mondok di Langitan, beliau mengatakan bahwa salat jamaah sebagai ganti tirakat di pesantren, karena sekarang bukan zamannya untuk tirakat, berbeda dengan dahulu. Sehingga, jika saya mewajibkan setiap santri untuk tirakat maka akan lebih sedikit sekali orang yang mondok.”

Para santri hanya bisa manggut-manggut, mengikuti apa yang dituturkan sang Kiyai.

“Memang, santri dulu biasa melakukan tirakat, sebagaimana ketika saya mondok di pesantren Langitan dulu. Banyak santri termasuk saya sendiri beli kayu ke stasiun Babat untuk menanak nasi, dipikul sendiri, dan memakai klompen walaupun jaraknya jauh sekalipun. Ada pula yang makan jagung sehari semalam dan lain-lain.

“Maka, kulinakno untuk salat berjamaah sebagai pengganti tirakat, dan cobalah rasakan ketika anda sudah istiqamah salat berjamaah, sehingga jika tidak salat berjamaah satu kali saja, akan merasa sangat bingung sekali. Namun, kalau tidak bisa kulino, berarti memang hatinya sudah tertutup dari hidayah Allah s.w.t. Al-Faqir, saya sendiri jika tidak salat jamaah satu kali saja, getun-nya luar biasa, lebih baik kehilangan uang satu juta. Dan ketika saya bepergian pun, saya selalu mengajak satu atau dua orang untuk salat berjamaah di perjalanan. Maka, apa tidak merasa eman untuk tidak salat berjamaah?!.

“Oleh karena itu, saya tekankan kepada santri untuk salat berjamaah, lebih-lebih kepada guru yang berada di dekat lingkungan pesantren ini, sehingga ia juga bisa menjadi contoh para muridnya. Manfaatnya akan lebih terasa ketika menunggu imam, dengan memperbanyak membaca dzikir. Dan, jikalau di kalangan pesantren saja tidak salat berjamaah, bagaimana nanti di masyarakat kelak. Apakah tidak melihat rasulullah s.a.w, yang beliau sendiri adalah; contoh yang baik, bagi orang yang mengharap (ridha) Allah dan hari akhir dan memperbanyak dzikir (menyebut nama Allah).

“Bagaimana ihtimam-nya beliau tentang salat jamaah, sehingga beliau punya azam, agar ada salah satu sahabat yang menjadi imam salat, kemudian beliau keliling di sekitar rumah sahabat. Beliau mengatakan bahwa jika ada sahabat yang tidak ikut salat berjamaah, maka akan saya bakar rumah sahabat tersebut. Hal ini menunjukkan saking pentingnya salat berjamaah itu. Sedangkan ulama' salafusshalih dulu, jika tertinggal takbir al-ihram saja, dilawat 3 hari dan kalau tertinggal salat jamaah sekali saja, maka ditakziyahi sampai 7 hari sebagaimana orang yang meninggal dunia.

“Sekali lagi, saya minta dewan guru dan para santri untuk lebih memperhatikan salat berjamaah, termasuk adabiyah dan peraturan berjamaah; shafnya harus kenceng, tidak ada yang lowong. Jangan sampai kalau shaf yang pertama belum komplit, sudah membuat shaf lagi. Hal ini menunjukkan tidak mempraktekkan adabiyah dan tatacara berjamaah.

Bagi para imam-imam agar menoleh ke belakang dahulu, jangan langsung takbir, dan tidak meneliti apakah barisannya sudah rapet dan lurus atau belum, karena hal itu tidak mendidik santri.

“Maka, insya Allah, jika salat berjamaah dilaksanakan dengan istiqamah, kita akan tetap bersatu dan kokoh, juga termasuk bagian dari tathbiq al-ilmu bi al-amaliyah khususnya dalam hal salat berjamaah. Dan ilmu yang dipelajari di pesantren ini insya Allah akan lebih bermanfaat serta niscaya di akhirat nanti kita akan dikumpulkan dengan rasulullah s.a.w, para sahabat dan ulama' salafusshalih lantaran kita melaksanakan apa yang telah mereka lakukan.

“Mudah-mudahan apa yang didawuhkan oleh hadratussyaikh KH. Abdul Hadi Zahid, bahwa tirakat santri adalah salat berjamaah, bisa dilaksanakan oleh para santri semua, sehingga dijadikan oleh Allah s.w.t sebagai hamba yang shalihin muttaqin”

“Amiinn” Para santri menimpalinya dengan gemuruh.

Seusai Kiyai menyampaikan Amanahnya untuk santri, beliau turun dan bersalaman kepada seluruh santri, dengan cara ngapurancang. Ini merupakan berjabat tangan ala Nabi yang dilakukan setahun sekali, sebagai ijazah untuk para santinya.

888

Rifa'i, duduk termenung, angin pagi menyambutnya riang. Sudah dua hari Rifa'i menghabiskan waktu liburannya dirumah bu Lastri, Bibi sekaligus orang yang berperan penting dalam kelanjutan belajarnya. Dia termasuk orang berada dari semua saudara-saudaranya, bu Lastri saudara ke2 dari tiga bersaudara. Yang tua bu Jamilah, ibu Rifa'i dan yang terakhir pak Rustam, mereka hanya beda desa namun masih tetangga.

“Rifa'i,, sarapan dulu..!!” ajak bu Lastri

“Enggeh Bi....”,

Seraya duduk didekat Rifa'i, bu Lasri basa-basi menanyakan kabar tentang dirinya,.

“Benar kamu menginginkan gadis anak pak Ramli??” pertanyaan itu membuatnya tersentak, Rifa'i hanya diam membisu. Tidak sepatah katapun yang dikeluarkan.

“Ingat kamu masih sekolah” lanjutnya, “jangan memikirkan yang tidak-tidak, belum saatnya, pikirkanlah sekolahmu dulu, kosentrasi belajar, jangan hanya karena gadis belajarmu buyar, jangan sia-siakan usaha orang tuamu, yang siap bekerja membanting tulang untuk anak yang diharapkan sebagai penggantinya nanti, sebagai tulang punggung” Rifa'i semakin tertunduk.

“Enggeh Bi...”

“Enggah.... Enggeh saja kamu dari tadi, ya udah sarapan dulu....”
Keduanya beranjak menuju ruang makan.

“Paman, kapan pulangnya Bi...?”

“Paling seminggu lagi”

“O....”

“kamu tidak membantu orang tuamu?”

Inilah pertanyaan mematikan yang sangat memukul jiwanya. Serasa memikul seribu beban.
“Udah ngak usah kamu masukkan hati..., anggap saja itu motifasi untuk mu, jangan putus asa. Maskipun hidup dalam kesederhanaan, namun jiwa tetap harus kau kayakan”

“Enggeh Bi..”

888

Jelang pertengahan hari Rifa'i berpamitan untuk pulang. Ingin rasanya dia pulan dan membantu Ibu atau ayahnya sekuat tenaga bahkan kalau bisa sia yang harus lebih keras daripada orang tuanya.

“Assalamu'alaikum...”

Tak ada jawaban, rumah itu kosong, biasa kalau siang,bapaknya ke pangkalan sedang ibunya jualan. Rifa'i berpikir keras, apa yang harus dilakukan...

“Huh....” dia menghela nafas panjang, keinginannya untuk membantu dan bekerja dengan keras, hanya tinggal keinginan, dia hanya duduk termenung melamun, bahkan suara adzan itu tidak masuk ditelinganya. Adzan Dhuhur itu terasa angin lalu, keinginannya untuk giat berjama'ah, seperti halnya pas mendengarkan tausiyah Kyai. Inilah cobaan terberat menjadi santri, harus melawan hawa nafsunya sebagaimana para Kyai.

“Nanti aja, baru Adzan...” batinnya bergumam. “jama'ah juga kan ngak harus setelah selesai adzan, entar dulu lagi asyik...”

“Apa kamu tidak ingat akan janjimu...?” sisi batin yang lain menimbali “janji seorang santri dihadapan Kyai”

“Apa kamu pernah berjanji..?, kapan?” saat mendengarkan ceramahnya kemarin..? saat hatimu berkeinginn untuk seperti Kyai, ingat siapa kamu anak tukang becak, seharusnya kamu membantu orang tuamu, bukan malah ke Pesantren, apa yang kamu peroleh disana, kamu tidak mamperoleh apa-apa, malah menghabiskan penghasilan orang tuamu”

“Seharusnya kamu menunjukkan oleh-olehmu dari pesantren, pesantren itu bukan tempat mencari uang, tapi tempat menimba ilmu, untuk apa kamu belajar kalau tidak diamalkan...?

“Apa yang kau dapat dari pesantren?”

“Kamu harus ingat, setiap kebaikan yang kau dengar dan setiap hasanah yang kau baca, itu adalah ilmu. Ketika kamu sudah pernah tau bahwa jama'ah dan tepat waktu dalam melakukan sholat itu yang utama, lakukanlah, jangan ditunda-tunda”

“Huh...” Rifa'i Menarik nafas... Perdebatan hatinya semakin mengacaukan pikirannya semakin membuatnya tidak tenang.

Tiba-tiba Perkataan Kyai itu terngiang “Bagaimana ihtimamnya beliau tentang salat jamaah, sehingga beliau punya azam, agar ada salah satu sahabat yang menjadi imam salat, kemudian beliau keliling di sekitar rumah sahabat. Beliau mengatakan bahwa jika ada sahabat yang tidak ikut salat berjamaah, maka akan saya bakar rumah sahabat tersebu...”

Rifa'i tersentak, lalu dengan berat melangkah masuk, ganti pakaian, kmudia kemasjid dan melakukan sholat berjama'ah.

Alangkah indahnya ketika kita mampu dan selamanya menag dalam memerangi nafsu. Rifa'i bukan orang nakal, dia hanya kadang-kaddang kalah akan nafsunya. Itulah manusia, kadang kalah dan kadang harus mengalahkannya.

Huuu.... alangkah damainya batin Rifa'i sekarang, batin yang tenang, seorang Rifa'i yang mampu mengalahkan nafsunya tanpa paksaan. Inilah cahaya hidayah yang dijanjikan.

“ya Allah, aku adalah hambamu, hamba yang siap kapan saja Engkau panggil, untuk menemui-Mu, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Aku tidak takut akan neraka-Mu, aku juga tidak mengharapkan akan surga-Mu, yang aku inginkan hanyalah ridho-Mu dan mampu melaksanakan titah-Mu yang hanya untuk-Mu.

888

Mendung menyambut pagi,angin kencang kadang berhenti menerpa, hilir semilir terasa sejuk membelai belan jiwa. Rifa'i berdiri, menatap gerbang pesantren, serasa ada getaran lembut menelusup halus, mengatakan “selamat datang di pesantren... sudah siapkah kamu menjalankan aktifitas barumu??”

Rifa'i tersenyum, atas kemenangannya menghadapi godaan nafsu. Kini dengan semangatnya dia ingin menyempurnakan ilmu dan mencari hal-hal yang baru. Menambah ilmu dari sang Guru.

Semoga cita-citamu berhasil Rifa'i.

Semoga

By: Rouf tracal