Dalam sejumlah kesempatan, sering muncul pertanyaan apa hubungan kajian sastra dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia? Pertanyaan tersebut tentu perlu mendapat tanggapan serius, bukan saja berkaitan dengan relevansi kajian sastra terhadap masyarakat, melainkan pula terhadap orientasi dan masa depan ilmu dan kajian sastra itu sendiri.
Tidak dapat dimungkiri masih sering muncul pertanyaan apa yang dapat dipelajari dari sebuah puisi, cerpen, atau novel. Latar belakang pertanyaan tersebut muncul karena masih terpeliharanya asumsi dan persepsi bahwa mempelajari puisi seolah mempelajari keindahan olah kata. Atau mempelajari novel seolah mempelajari sebuah cerita fiktif, cerita yang mengada-ada, yang hampir tidak berhubungan dengan fakta-fakta dalam realitas kehidupan. Itu pula sebabnya, kemudian muncul pertanyaan, setelah mempelajari sastra, atau lulusan sarjana sastra itu bisa bekerja di mana? Atau instansi apa yang dapat menerima sarjana yang lulus karena mempelajari puisi, cerpen, atau novel?
Di Indonesia, pertanyaan tersebut tentu tidak sepenuhnya salah. Hingga hari ini, pelajaran dan pengertian sastra (terutama di SMP dan SMA), masih bergerak dalam penapisan struktural. Bahkan beberapa kurikulum di perguruan tinggi pun masih ''mempertahankan'' paradigma itu sehingga persoalan sastra seolah bergerak hanya dalam koridor tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Pengetahuan itu dipelihara, disimpan, dan diteruskan sehingga para pelajar (dan masyarakat) masih ''berkeyakinan'' bahwa persoalan sastra tidak lebih dari itu. Yang mengherankan, sejumlah buku (teori) yang belakangan terbit tentang kesusastraan masih meneruskan tradisi itu.
Memang, penapisan struktural penting karena bagaimanapun teori itu menjadi dasar bagi pengetahuan kesusastraan. Masalahnya, teori-teori struktural justru mulai tidak relevan karena tidak menjelaskan sejarah, konteks, dan sosiologi kehadiran sebuah karya sastra. Teori struktural juga tidak meletakkan substansi karya sastra sebagai sebuah karya yang mampu mengemas persoalan manusia dan masyarakat secara esensial. Hal yang dimaksud sebagai sesuatu yang esensial adalah bahwa berbagai persoalan faktual yang dihadapi manusia dikemas dalam suatu ''abstraksi universal'' sehingga ''fakta cerita'' (fiksi) menjadi sesuatu yang mampu menelanjangi hakikat persoalan manusia.
Belakangan ini, mengingat sejumlah persoalan yang semakin runyam, relevansi dan kontribusi kajian sastra semakin dipertanyakan dalam ikut memikirkan masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Masalah-masalah itu antara lain, seperti kita sudah sangat tahu, masalah kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Dalam perspektif yang lebih spesifik terdapat juga masalah korupsi, ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, konflik dan kekerasan, kesemrawutan sosial, keuangan yang mahakuasa, dan sebagainya.
Memang, pertanyaan itu terkesan tidak adil ketika sastra, pengetahuan yang dianaktirikan, harus menanggung beban masalah sebesar dan seberat itu. Akan tetapi, harus ada sikap-sikap yang bersifat ideologis dan berpihak terhadap masalah bangsa dan negara, ketika ilmu-ilmu lain, seperti ekonomi, politik, atau teknologi, justru terlibat dalam persoalan (dan penyebab) kemiskinan, kebodohan, atau bahkan ketidakadilan.
* * *
Persoalannya adalah bagaimana sesuatu yang esensial tersebut dikaitkan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Dalam hal itu, hal yang perlu dipahami adalah bahwa karya sastra merupakan ''hasil seleksi'' dari berbagai peristiwa dan kejadian, disaring secara substansial dari berbagai motif fakta kemanusiaan, dipikirkan dengan jeli dan rumit, dan dikemas dalam satu jaringan tekstual yang berfungsi sebagai penanda. Hasilnya adalah sebuah teks yang dapat dijadikan ''sumber informasi'' dalam memahami berbagai persoalan manusia dan suatu masyarakat.
Kunci utama persoalan terletak pada adanya pengakuan bahwa pada akhirnya hal-hal yang perlu dipelajari dan ditafsirkan, baik dalam ilmu politik, hukum, sosial, ekonomi, agama, budaya, bahkan teknologi adalah kata, ungkapan, pernyataan, atau cerita. Dalam kasus-kasus politik atau agama, memang terdapat fakta-fakta di tingkat kenyataan, seperti kasus-kasus kekerasan atau pergeseran-pergeseran kecenderungan/fenomena kehidupan sosial.
Ketika kita mempelajari kasus kekerasan atau berbagai perubahan kecenderungan tersebut, yang kita pelajari adalah kata, ungkapan, cerita, atau tegasnya teks. Dalam arti, berbagai kejadian atau peristiwa itu pada akhirnya direkam (dalam berbagai cara), disampaikan, didiskusikan, dianalisis, ditafsirkan, dicarikan solusinya, berdasarkan hasil laporan, cerita, atau teks.
Kasus mutakhir yang membuat heboh, misalnya, kasus SKB tiga menteri berkaitan dengan posisi atau kedudukan Ahmadiyah. Hal yang membuat heboh adalah teks keputusan itu, yang diramaikan adalah teks. Sejumlah peneliti dalam mendapatkan informasi juga berdasarkan wawancara (cerita informan) atau berdasarkan sejumlah tulisan (teks). Lantas, apa bedanya dengan karya sastra?
Hal yang membedakan adalah karya sastra ditulis dan dikemas dalam satu abstraksi peristiwa/kejadian sehingga karya sastra menjadi sesuatu yang, seolah-olah, tidak berhubungan dengan kenyataan. Padahal, karya sastra justru mengangkat peristiwa atau kejadian tersebut secara berbeda, secara simbolik, dan dalam cara-cara tertentu justru menjadi sebuah teks yang informatif karena berbagai kejadian disajikan dalam sebuah cerita yang inspiratif dalam memahami peristiwa atau kejadian yang terjadi di masyarakat.
Dalam paradigma itulah, kajian sastra selayaknya dapat dikembangkan menjadi salah satu sumber dalam memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi di masyarakat. Novel Proyek karya Ahmad Tohari, misalnya, dapat dijadikan salah satu bahan bagaimana menjelaskan alur korupsi, bagaimana karakter-karakter yang terlibat, sebab-sebab terjadinya korupsi, dan bagaimana korupsi menjadi suatu budaya dalam masyarakat Indonesia.
Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo dapat dijadikan informasi dan inspirasi bagaimana memahami jalannya politik di Indonesia. Bahkan juga dapat dipakai bagaimana menggerakkan masyarakat untuk lebih sadar berhadapan dengan lingkungan hidup. Novel Umar Kayam Para Priyayi dan Jalan Menikung dapat dijadikan bahan yang sangat penting dalam memahami persoalan perubahan sosial Indonesia.
Tentu banyak karya sastra lain, termasuk cerpen dan puisi, yang dapat dijadikan bahan atau sumber informasi, sumber inspirasi, dalam memahami persoalan kriminalitas, persoalan demokrasi, ketidakadilan, dan berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Berbagai kajian itu selayaknya diapresiasi dengan kejadian di tingkat kenyataan sehingga karya sastra mendapat posisi yang lebih kontekstual dalam persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Saya mengira, mengingat berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia, kajian (sastra) yang tidak mencoba membantu menjelaskan atau memberi pemahaman baru, atau yang tidak mencoba membantu mencarikan solusi dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi Indonesia, bangsa yang hampir tidak pernah keluar dari rundung kemalangan dan kemiskinan, kajian itu secara relatif mungkin tidak berguna. (*)